Senin, 09 April 2012

Jangan Benci Aku, Mama



Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Sam, suamiku, memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja, untuk dijadikan budak atau pelayan.
Namun , Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya. Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan, saya pun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian anak-anak yang indah.
Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa setel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan. Sama selalu menuruti perkataan saya.
Saat usia Angelica 2 tahun, Sam meninggal dunia, Eric sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk.  Akhirnya, saya mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya bersama Angelica. Eric yang sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja.
Kemudin saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun telah berlalu sejak kejadian itu.
Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria baik. Usia pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang.
Angelica telah berusia 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi yang mengingatnya. Sampai suatu malam saya bermimpi tentang seorang anak laki-laki. Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali. Ia melihat ke arah saya. Sambil tersenyum ia berkata, “Tante,  Tante kenal mama saya? Saya lindu cekali pada Mama.”
Setelah berkata demikian, ia mulai beranjak pergi, namun saya menahannya, “Tunggu... sepertinya saya mengenalmu. Siapa namamu, anak manis?”. “Nama saya Elic, Tante.”
“Eric?Eric... Ya Tuhan! Kau benar-benar Eric?” saya langsung tersentak dan bangun. Rasa bersalah, sesal, dan berbagai perasaan aneh lainnya menerpa diri saya saat itu juga. Tiba-tiba, terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu, seperti sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu. Rasanya seperti mau mati saja saat itu. Ya, saya harus mati...mati...mati...
Ketika tinggal seinchi jarak pisau yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Eric melintas kembali di pikiran saya. Ya Eric, Mama akan menjemputmu Eric...
Sore itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk. Brad yang berada disamping saya menatap saya dengan pandangan heran. “Mary, apa yang sebenarnya terjadi?”
“oh, Brad kau pasti akan membenciku stelah aku menceritakan hal yang telah kulakukan dulu.” Namun saya menceritakannya juga dengan terisak-isak.
Ternayata, Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian.
Setelah tangis saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad. Mata saya menatap lekat ubuk yang terbentang dua meter dihadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya tempati beberapa tahun lamanya dan Eric...Eric... saya meninggalkan eric di sana 10 tahun yang lalu.
Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka pintu yang terbuat dari bambu itu. Gelap sekali... tidak terlihat sesuatu apapun!
Perlahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu. Namun saya tidak menemukan siapapun di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di tanah. Saya mengambil seraya mengamatinya dengan saksama. Mata saya mulai berkaca-kaca, saya engenali potongan kain tersebut sebagai baju butut yang dulu dikenakan Eric sehari-harinya.
Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, saya pun keluar dari ruangan itu. Airmata saya mengalir dengan deras.
Setelah beberapa saat, saya dan Brad mulai masuk ke dalam mobil untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, tiba=tiba saya melihat sesorang di belakang mobil kami. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu sangat gelap. Di belakang mobil kami berdiri seorang wanita tua dengan wajah yang sangat kotor. Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau. “Heii..! siapa kamu?! Mau apa kau ke sini?!” dengan memberanikan diri, saya pun bertanya. “ Ibu, apa ibu kenal dengan seseorang anak laki-laki bernama Eric yang dulu tinggal disini?”
Ia menjawab, “kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutk! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus menunggu ibunya dan memanggil, ‘Mama...Mama...’ karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu!
Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu..”
Saya pun membaca tulisan dikertas itu...
“Mama, mengapa Mama tidak pernah kembali lagi...? Mama... marah sama Eric ya?Mam, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mama harus berjanji kalau Mama tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mam...”
Saya menjerit histeris mmebaca surat itu. “Bu, tolong katakan.. katakan di mana dia sekarang? Saya erjanji akan menyayanginya! Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan!!”
Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.
“Nyonya , semua sudah terlambat. Kemarin, Eric telah meninggal dunia. Ia meninggal dibelakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mama-nya datang, Mama-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada didalam sana. Ia hanya berharap dapat melihat mama-nya dari belakang gubuk ini, meskipun huja deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya disana. Nyonya, dosa anada tidak terampuni.
Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi