Raut muka
yang berseliweran di depan rumahku bukan tampak biasa. Tak wajar.
Tegang. Sekitar delapan sampai lima belasan orang berjaga di jalan.
Masing-masing memegang gagang kayu sebesar lengan orang dewasa. Mereka
bersiap jika ada serangan tak terduga. Bapak ada disitu. Beberapa jam
yang lalu, tetanggaku dilempar batu sebesar batok kelapa tepat di
dadanya. Akibatnya ia dilarikan ke rumah sakit, entah bagaimana
keadaannya. Waktu itu usiaku amat belia. Aku ingat betul aku masih duduk
di tahun terakhir Madrasah Ibtidaiyah, atau kalau kamu tak paham
istilah itu kamu bisa menyebutnya Sekolah Dasar.
Begini.
Kumulai kisahku dengan sebuah Langgar Atau mungkin orang di tempatmu
menyebutnya mushola, surau, atau pondok. Di seberang jalan. Sekitar lima
menit berjalan kaki dari rumahku. Tempat itu yang kini tak kujumpai
lagi jika kupulang kampung. Tempatku mengaji dulu. Pula tempat pertama
kali Bapak mengantarku pada ustadz Zuhdi. Kuingat, Persis di depan rumah
ustadz Zuhdi, guru ngaji pertamaku itu langgar yang paling awal
berdiri sebelum bertengger langgar-langgar lainnya. Hanya dipisahkan
jalan yang membentang panjang di antara langgar dan rumahnya. Tentu tak
sesepi tempat-tempat ngaji yang ada sekarang. Anak-anak kampung
sebelah banyak juga yang berduyun ngaji disitu.
Tapi
sekarang tak mungkin bisa kau saksikan lagi langgar itu berdiri di
kampungku. Berderet-deret bangunan baru begitu membuat pangling. Puing
pondasinya pun telah berdiri di atasnya sebuah ruko milik turunan orang
Cina. Tiap aku berdiri di depan toko milik orang Cina itu samar-samar
ingatanku membayang ustadz Zuhdi. Ada dimana beliau sekarang? Jika masih
hidup, mungkin kini ia telah bercucu pinak. Namun bila telah tiada
dari dunia, maka dimana pusaranya kini?
Rumahnya
telah tak lagi terhuni. Sepi. Genting-gentingnya masih utuh di beberapa
bagian. Jendelanya tersisa kaca-kaca tajam terkena lemparan batu. Di
bagian yang lain retak membentuk alur yang tak beraturan. Di berbagai
sudut hampa kamar rumah itu yang bisa ditemui hanya gelap pengap yang
memenuhinya. Di bagian muka, dulu ada taman yang lumayan luas dengan
bunga-bunga yang berwarna-warni, milik istri ustadz Zuhdi. Sekarang
hanya rerumputan galak yang tampak tak asri. Bangunan itu terlihat
menyeramkan.
Di
seberang jalan di depan rumah itu dulunya langgar itu berdiri. Jelang
maghrib, kami akan sudah disitu. Berlomba meletakkan mushaf Quran di
dampar agar mendapat giliran setoran ngaji paling awal. Menunggu maghrib
tiba, halaman rumah ustadz Zuhdi akan terdengar reriangan. Kaki-kaki
yang berlarian mengepulkan debu. Ada teriakan dan canda. Mengejari
kupu-kupu di antara pohon jambu air dan pohon sawo kecik. Kupu-kupu yang
cantik warnanya. Putih, bergurat biru, juga sedikit warna kuning.
Jarang kumenemukan selain di halaman rumah itu.
Kupu-kupu
itu menemani sore kami. Seperti pernik-pernik yang berwarna-warni.
Kepakan sayap kecilnya bergerak dalam suara hampa. Sekejap ia akan
terbang entah kemana. Kemudian kembali lagi. Membawa kupu-kupu yang
lain, mungkin anak-anaknya atau keluarganya. Beberapa ada yang berdiam
dalam kepompong, menggantung di dahan bunga kana.
Lalu ada yang berlarian menuju tepi jalan.
Teriakan-teriakan
konvoi pemuda itu seperti tak menghiraukan terik yang begitu membuat
kulit kering keriput. Ribuan orang tumpah ruah di jalanan. Ada begitu
banyak motor yang meraung sehingga suara bisingnya begitu lama singgah
di gendang telinga. Juga ibu-ibu dan orang-orang yang telah sepuh
memenuhi mobil bak terbuka. Berpuluh ribu peluh tak mengeluh kepanasan.
Suara-suara gas knalpot diiiringi bunyi klakson. Nyanyian mereka khas
sekali. Konvoi itu gaduh. Seperti suara panggilan yang membius warga
berkumpul di sisi-sisi jalan. Membentuk pagar manusia.
Menyaksikan
ribuan orang berlalu melewati jalan adalah pemandangan yang menarik
buatku dan teman-temanku saat itu. Wajar. Sesusiaku menyukai
hingar-bingar yang tak biasa kusaksikan tiap hari. Apalagi pakaian yang
mereka kenakan di jalanan. Begitu menarik, ijo royo-royo. Muka-muka
pemuda itu coreng-cemoreng hijau juga. Hijaunya hijau muda.
Teman-temanku menyebut itu pawai Partai Ijo Muda. Bapak juga ikut partai
itu. Kutahu sebab di muka halaman rumahku di sisi jalan tertancap
tiang berlambang Partai Ijo Muda.
Itu partai bapakku! tunjuk Sapto bangga.
Bapakku juga! kubilang.
Aku juga! lalu yang lain menyahut.
Sssst..nanti ustadz Zuhdi dengar,” bilang yang lainnya lagi.
Iya, Sssstt… aku melirik Sapto.
Tetanggaku Partai Ijo Muda. Pamanku Partai Ijo Muda. Pak Lik, Bu
Lik, Pak dhe Partai Ijo Muda. Hampir seluruh keluargaku pengikut partai
ijo muda. Seluruh desa partai ijo muda. Di kampungku cuma Ustadz Zuhdi
yang di depan halamannya berkibar bendera partai yang berbeda dari
yang dianut orang-orang kampung. Partai Ijo tua, bukan ijo muda. Partai
ijo muda bergambar seperti kotak kapur sedangkan partai ijo tua
bergambar bulatan bumi.Iya, Sssstt… aku melirik Sapto.
Tiap saat yang dibicarakan pasti bahasan yang sama. Tidak di pasar, di warung, di emper-emper rumah, bahkan di pengajian rutinan pun. Pasti pembicaraannya tentang pawai, kampanye, konvoi, partai, itu-itu saja. Pedagang berunding dengan pembeli, serius masalah partai. Bapak dan anak musyawarah keluarga, ngurusi partai. Kyai berdalil di depan khalayak juga singgung-menyinggung partai.
Tidak habis pikirnya, partai dipuja bagai juru selamat. Kalau tidak masuk partai itu tidak masuk surga katanya. Entah dalil dari mana itu. Pernah, dulu, kuikut bapak berkonvoi di jalanan. Membawa bendera dan mengenakan kaos hijau muda bergambar lambang seperti kotak kapur.
Bangga rasanya sebab tidak semua anak seusiaku mendapat izin orang tuanya mengikuti pawai sepertiku. Para orang tua mereka itu bukannya tak mau menuruti kehendak anaknya. Bukan pula menolak hingar-bingar dan sorak-sorai keramaian. Tetapi para orang tua khawatir keramaian itu kadang membawa petaka. Maksudku, kerusuhan sering terjadi jika antar partai berpapasan. Mungkin karena adu gengsi. Sok menunjukkan siapa yang terkuat. Sok saling tunjuk calon pemimpinnyalah yang paling kuat. Dan ujung-ujungnya tawuran. Masuk rumah sakit. Masuk penjara. Ironisnya lagi nyawa melayang demi membela seorang pemimpin yang mereka sendiri tak tahu jika terpilih kelak apa masih ingat pengorbanan mereka.
Saat itu
aku tak ahu dari mana mulanya, jika Partai Ijo muda bertemu Partai Ijo
tua maka dipastikan yang terjadi perseteruan. Aku sendiri tak mengerti,
kedua partai itu basisnya islam, sama-sama berasal dari organisasi
islam terbesar di Indonesia seperti yang dulu pernah kudengar dari
orang-orang-. Tapi mengapa begitu mudahnya mereka saling memusuhi.
Saling memaki. Bahkan berusaha saling membunuh. Bukankah sesama muslim
itu saudara? Bukankah pula sesama muslim itu mesti saling
tolong-menolong?
Agaknya itu tak berlaku di tempatku.
Fanatisme
yang berlebihan telah meracuni pemikiran masyarakatku. Otak mereka
telah dicuci. Jika tidak memilih yang mereka pilih maka jangan harap
dianggap manusia di masyarakatku. Mereka saling cegat-mencegat.
Jegal-menjegal adalah hal yang wajar. Kata-kata makian jadi umbaran yang
halal bagi juru kampanye yang mengaku ulama itu. Waktu itu pernah
kudengar dari kampanye -yang mereka sebut itu pengajian sebab yang
berkampanye itu para kyai- , ulama-ulama juru kampanye itu memaki ulama
lain yang tak sealiran dengannya, yang lebih ironis lagi yang
diumpatnya waktu kampanye itu malah kelak jadi kepala Negara mereka.
Suatu
pagi, seperti hari sebelumnya. Bola raksasa yang mengawang di angkasa
mengawali putarannya. Tak pernah terpikirkan akan berapa lama lagi bola
raksasa itu akan kehabisan energinya. Bahkan belum terpikirkan jika
suatu pagi matahari akan lenyap dan berhenti bersinar sedangkan akal
manusia belum mampu menjangkau untuk mencari energi yang bisa
menggantikan matahari. Matahari yang sinarnya memancar ke banyak bagian
yang berbeda. Matahari yang digunakan untuk patokan waktu di seluruh
dunia. Mereka gunakan pula untuk menamai musim yang terjadi. Matahari
yang dibutuhkan ibu jika akan menjemur pakaianku dan pakaian bapak.
Matahari yang dicari para petani untuk mengeringkan gabah-gabahnya. Dan
pula matahari yang digunakan nelayan untuk mengeringkan ikan asinnya.
Jalanan
di hari itu tak semeriah hari lalu. Kabarnya hari itu akan ada kampanye
Partai Ijo Tua. Tratak telah berdiri. Kursi-kursi plastik di tata
berjajar rapi. Podium telah berdiri gagah. Banser dan pasukan yang
terdiri dari orang-orang tegap berjaga di situ. Suasana tampak akan ada
yang hajatan di tempat itu.
Hancurkan
kemusyrikan….Hancurkan syaiton..! Teriakan itu memecah lengang.
Disusul konvoi lelaki bercadar putih. Hanya mata yang saling memandang.
Mata tanpa nama itu berkerumun membawa senjata yang siap untuk menyabet
siapa saja yang akan menghalangi niatnya.
Kalian terkutuk! Kalian bukan islam! di bagian lain dari konvoi itu meneriaki orang-orang yang berada di pengajian itu.
Kalian lebih terkutuk lagi! jawab seorang dari pengajian itu.
Seorang
dari kelompok pengajian itu menunjukkan nyalinya. Sendirian ia melangkah
maju. Setelah menengadahkan tangan, ia membuat pagar ghaib. Kekuatan
yang tak terlihat itu mampu mementalkan tiap barisan konvoi yang mencoba
mendekati laki-laki tersebut. Salah satu pemimpin konvoi bercadar itu
pun seperti tersulut amarahnya. Ia turun, entah melakukan ritual seolah
keduanya saling berperang ghaib. Sesekali salah satu dari keduanya ada
yang terpental. Tak beberapa lama ia mengomandoi naka buahnya.
Maju! Jangan takut, kita di jalan yang benar!
Allahu Akbar!
Dari
belakang kerumunan terlempar bom molotof yang menjatuhi sebuah motor.
Api pun langsung menyala-nyala memakan motor itu. Melahap bagian demi
bagian yang terlapisi minyak tanah. Ratusan orang bergerak merangsek
menenteng apa saja yang bisa digunakan untuk melukai. Bahkan bila perlu
untuk membunuh.
Bagai
drama perang kolosal masa lalu, tak ada mulut yang berbicara. Sabetan
pedang dan celuritlah yang mewakili cakap mereka. Sahut-sahutan asma
Allah seakan tak ada maknanya. Tak ada yang mampu berpikir jernih di
situasi itu. Satu sama lain saling mengklaim yang benar. Saling mengaku
merekalah sebenar-benarnya muslim. Partai telah membutakan mata mereka.
Mereka pun tak peduli lagi jika yang mereka hadapi adalah saudara
kandungnya. Mereka putus begitu saja ukhuwah yang terjalin ribuan tahun
lalu.
Asap
pekat membumbung ke angkasa. Belasan kendaraan menjadi korban
keberingasan. Dibakar dan dimasukkan ke dalam sumur. Puluhan orang
terluka. Langgar dan rumah pun tak luput dari amarah. Mereka lempari
dengan batu. Mereka robohkan atap-atapnya. Mereka jarahi apa yang bisa
mereka anggap sebagai barang berharga.
Malamnya,
aku tak bisa lagi mengaji lagi ke Langgar. Langgar kami telah rata.
Bapak melarangku pergi kemana- mana. Ibu-ibu dan anak-anak tak
diperkenankan di luar rumah. Para pemuda dan orang tualah yang berjaga.
Sayup-sayup dari dalam rumah kudengar mereka bercengkerama. Kudengar
dengan jelas mereka menyebut nama Ustad Zuhdi. Guru ngajiku itu
menghilang sejak peristiwa yang menghanguskan langgarnya. Sebagian yakin
jika Ustad Zuhdi telah tewas terbantai. Lainnya berargumen, ustad
Zuhdi menghilang bersama istrinya. Satu sama lain saling ngotot.
Setelah
kejadian itu memang tak lagi ada yang tahu dimana Ustad Zuhdi. Banyak
korban berjatuhan dari peristiwa itu. Dari yang terluka hingga hilang
nyawanya. Kampung kami sedang berkabung. Berkabung karena matinya akal
sehat, juga karena matinya ajaran ukhuwah yang selalu diajarkan
Rasulullah. Kami menyesal pikiran-pikiran jahiliyyah kembali hadir di
zaman se modern ini.
Sekitar
lima jenazah menjadi korban peristiwa itu. Satu dari partai Ijo Muda,
tiga dari partai Ijo Tua. Satu lagi korban tak dikenal identitasnya.
Jenazah itu telah tak berupa manusia lagi. Sekujur tubuhnya hangus
terbakar hingga tak terkenali. Jenazah itu lah yang mereka yakini
jenazah Ustad Zuhdi. Guru ngajiku. Mayat-mayat itu dimakamkan dengan
nisan tanpa nama. Tak ada yang tahu benar apakah itu Ustad Zuhdi. Sampai
saat ini pun.
Tiap aku
pulang kampung dan ziarah ke makam Bapak, kupu-kupu itu selalu hadir di
penglihatanku. Ada ikatan batin yang sulit diungkap antara aku dan
kupu-kupu itu. Kupu-kupu itu seperti merekam sebuah ingatan. Dalam senja
yang ramah angin terkadang luruh seakan meniupkan kenangan. Sebuah
andai yang ingin kembali terjadi. Tak ada hal lain yang kukenang jika
tengah berdiri menatap kepakan lentik dari warna yang begitu membuat
bayangan masa lalu muncul kembali. Tak tahu dari mana munculnya. Pernah
kucoba menelusuri asalnya. Tapi niatanku begitu saja pupus saat bertemu
kenyataan kesehariaanku.
0 komentar:
Posting Komentar